#spaceads {margin:0px;padding:0px;text-align:center} #spaceads img {margin:2px 2px;text-align:center;-webkit-border-radius: 5px;-moz-border-radius: 5px;border-radius: 5px;-webkit-box-shadow: 1px 2px 1px #ccc;-moz-box-shadow: 1px 2px 1px #ccc;box-shadow: 1px 2px 1px #ccc;} #bukarahasiaads img:hover {-moz-opacity: 0.7;opacity: 0.7;filter:alpha(opacity=70);}

Kamis, 07 Juli 2011

BUAH TANGAN DARI MERAPI..

Aku berdiri…………..

Menatap hamparan luas padang pasir dengan bebatuan yang berserakan tak beraturan, melihat pohon-pohon kering yang masih mampu berdiri tegak walau tak lagi terlihat garang karna yang tersisa hanya ranting dan dahan yang kering, dan menyaksikan rumah-rumah tak berpenghuni yang ditinggal pemiliknya ke barak-barak pengungsian dan hampir rata tertimbun pasir yang tak mau mengerti.

Sesaat aku terdiam dan saat itu juga pikirku melayang membayangkan bagaimana dahsyatnya bencana kalaitu, aliran lahar panas maupun lahar dingin menghantam tempat dimana aku berdiri saat itu. Kali yang dulunya dalam didasar jurang (kata salah satu warga yang kami temui, kali ini disebut kali Gendol), kini lebih tinggi dari pemukiman penduduk. Membayangkan bagaimana panasnya awan panas yang masyarakat sekitar menyebutnya “wedus gembel” berterbangan menyapu dan menyengat pepohonan yang dihinggapinya, yang kini tinggal ranting dan dahan kering. Mungkin yang ada hanyalah kepanikan, ketakutan, dan kebingunan.

Dalam sekejab desa yang biasannya ramai, biasanya ramah, biasannya bersahaja dan biasanya hijau dan subur, berubah menjadi desa yang mencekam, desa yang penuh dengan ketakutan, desa yang taklagi berpenghuni, dan menjadi desa yang kering dan gersang seperti saat ini.

Bulu kudukku tiba-tiba berdiri, aku merinding, seakan mendengar setiap jeritan yang terjadi saat itu. Jeritan kebingunan mau berlari kemana karna awan panas melesat bagai kilat dan menghanguskan setiap benda yang dilaluinya. Menjerit karna bencana itu membawa penderitaan dan kesengsaraan.
Aku tak mampu berkata-kata, membayangkan seandainya aku ada disana disaat bencana itu terjadi, mungkin aku takakan mampu berbuat apa-apa, mungkin tak akan seperti ini, mungkin aku sudah akan menghadapNYA seperti para korban-korban yang lain, atau mungkin bagian tubuhku tak akan se-sempurna ini karna hilang terkena awan panas atau lahar panas.

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam menatap sisa keganasan alam yang luar biasa yang menempatkan aku terlihat kecil dan tak ber-arti apa-apa dimata Tuhan. Menghancurkan setiap kesombongan yang ada didalam jiwa. Hanya doa-doa kerendahan hati yang mampu tersampaikan serta berharap ada kebahagiaan yang lebih besar dibalik segala bencana yang terjadi.

Seperti judul sebuah lagu “ Badai Pasti Berlalu”, maka setelah sekian lama bencana itu terjadi, badai itupun sudah mulai berangsur-angsur berlalu, kehidupan perekonomian masyarakat merapi mulai membaik, tanah pertanian sudah mulai dapat digarap,tumbuhan dan tanaman sudah mulai bertunas , bahkan aku sempat melihat tanaman labu yang sedang berbuah dan buahnya luar biasa besarnya, dan ini menyingkirkan kegersangan berganti kesuburan.

Selalu ada hikmat dibalik segala perkara, lokasi bencana menjadi objek wisata yang menarik bagi banyak orang yang ingin menyaksikan sisa-sisa keganasan alam saat itu. Dan ini menjadi sumber penghidupan yang baik bagi masyarakat sekitar.
Para pengunjung tidak hanya tertegun melihat keganasan bencana yang terjadi saat itu, namun juga terpesona oleh wajah merapi yang mulai tersenyum dengan memancarkan senyum kedamaian, menyambut dengan keramahan bersama dengan hembusan angin yang lembut menyentuh tubuh. Tunas-tunas pohon yang elok seperti menari diterpa angin yang dingin menambah keindahan.

Tak ingin rasanya beranjak dari tempat itu namun waktu memaksa kami untuk segera pamit, dan melanjutkan perjalanan, karna kami harus kembali ke Madiun.
Terima kasih Tuhan karna dibalik hujan yang deras akan selalu Engkau berikan pelangi yang indah. Terima kasih Tuhan karna kami diijinkan untuk melihat, karna dengan melihat kami juga dapat merasakan penderitaan dan kepedihan mereka, hingga dengan demikian kita dapat lebih bersyukur.

Buah Tangan dari MERAPI 22 Mei 2011. Hft…